Beranda | Artikel
Dialog Dengan Pembela Maulid Nabi
Rabu, 27 September 2023

DIALOG DENGAN PEMBELA MAULID NABI

Ada kelompok dari kaum muslimin yang melakukan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kedua belas, bulan Rabiulawal, setiap tahun hijriah. Diselenggarakan dengan berbagai macam upacara dan ritual. Tujuan dari semua itu adalah mempertunjukkan kegembiraan, kebahagiaan, rasa syukur dan rasa cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memperingati hari kelahirannya. Apakah perbuatan ini benar, berkesesuaian dengan syariat dan pelakunya mendapat pahala?!

Kepada pembela dan pendukung perayaan maulid saya tujukan risalah ini, dari hati yang penuh kasih dan nasihat untuk mengantarkan kebenaran, membela sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sabdanya,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama adalah nasihat.”

Kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”

لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh ummatnya.” [Hadits Mutafak alaih]

Saya ringkas dialog saya ini dalam poin-poin berikut:

Pertama: Awal kali saya katakan kepada mereka bahwa seluruh kaum muslimin mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada seorangpun yang menyelisihi hal ini. Mencintai Nabi adalah fardu (wajib) bagi kaum muslimin, bahkan ia merupakan pokok dari pokok keimanan. Tidak sah iman seorang hamba kecuali dengannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan semua orang.” [Mutafak Alaih]

Akan tetapi kaum muslimin berbeda dalam mengekspresikan dan menampakkan kecintaan ini dalam pengejawantahannya.

Dengan demikian kita sepakat atas wajibnya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Saya tanyakan kepada mereka : Apa pengertian cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah kecintaan itu hanya semata perasaan, hubungan hati dan emosional atau amalan hati yang disertai praktek amal?!

Tidak diragukan jika asal kecintaan ada di dalam hati, akan tetapi kecintaan memiliki konsekuensi dan buah. Cinta sempurna dan lengkap ketika tergabung perasaan hati, pengucapan lisan dan realisasi anggota tubuh. Ia juga mengharuskan pembenaran apa yang dikabarkan, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali Imran/3:31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku masuk surga, kecuali yang enggan.”

Ada yang bertanya:

“Siapa mereka yang enggan itu wahai Rasulullah?”

“Siapa yang menaatiku masuk surga dan siapa yang menyelisihiku maka sungguh dia telah enggan.” [Hadits riwayat al-Bukhari]

Siapa yang mencintai hendaknya memperbanyak mengingat, menaati dan berusaha tidak menyelisihinya.

Bila demikian, kecintaan bukanlah sekadar klaim, simbolis, sorak-sorai, akan tetapi kehidupan, metode dan praktek nyata. Amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin membayangkan bahwa kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya cukup dengan memuja dan memujinya. Oleh karenanya kita dapat melihat kehidupan mereka begitu jauh dari petunjuk, manhaj (metode beragama), ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebanyakan mereka menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan sunahnya. Jika tiba momen keagamaan, mereka mengadakan perayaan untuk mempertontonkan kecintaan. Bersamaan dengan usainya perayaan itu, mereka kembali kepada kondisi mereka semula dari kesesatan. Tidak diragukan bahwa kecintaan hampa ini adalah kecintaan yang cacat dan bisa jadi batal.

Ketiga: Jika kita tanya kepada mereka: apa hakikat perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mereka akan menjawab : Ini hanyalah murni tradisi seperti perayaan-perayaan duniawi yang lain, tidak ada hubungannya dengan agama dan hukum asalnya adalah boleh. Dibolehkan bagi setiap muslim melakukan perayaan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana perayaan duniawi lain ketika mendapat pekerjaan atau mendapat kenikmatan; seperti dianugerahi anak dan lain sebagainya.

Perkataan mereka ini sesungguhnya adalah salah besar, menipu diri sendiri, tidak filosofis dan tidak masuk akal.

Setiap orang, meskipun dia buta huruf, pertama kali akan memahami bahwa perayaan tersebut adalah perayaan agama. Siapapun yang merenungkan perayaan ini akan yakin bahwa ia dilaksanakan atas dasar kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tujuan terbesar mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai wasilah untuk membersihkan diri dan memurnikannya. Di dalamnya terdapat zikir dan ritual doa.

Dengan demikian jelaslah bahwa perayaan maulid adalah ibadah dan bentuk taqarub (mendekatkan diri) yang dilakukan pelakunya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikannya sebagai salah satu dari syiar agama. Karena itulah mereka konsisten melakukannya, menganjurkan yang lain untuk terlibat dan mengingkari siapa yang meninggalkannya dan menuduhnya dengan buruk perangai.

Jika ditetapkan sebagai ibadah, maka ibadah itu haruslah memenuhi sarat yang mengesahkannya, jika tidak, ibadah itu menjadi batil dan tidak ada dasarnya.

Keempat: Jika kita tanya mereka: apakah ada dalil syariat yang menunjukkan pensyariatan dan pembolehan perayaan maulid nabi?! Tentu mereka akan mengatakan ada dan mereka akan menyebutkan sejumlah dalil. Akan tetapi jika kita kaji dalil-dalil yang mereka gunakan, maka dalil-dalil tersebut tidak lepas dari dua keadaan:

  1. Dalil khusus yang lemah lagi maudhu (palsu).
  2. Dalil umum yang sahih tetapi tidak menunjukkan apa yang didalili dari sisi manapun. Seperti pendalilan mereka dengan hadits yang diriwayatkan di dalam Sahih Muslim, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai puasa hari senin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

فِيْهِ وُلِدْتُ وِفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ

“Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”

Demikian pula pendalilan mereka dengan keutamaan hari Jumat dan istihbab (disukainya) salawat kepada Nabi serta pendalilan dengan keutamaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil-dalil tersebut –segala puji bagi Allah– tidak sama sekali menunjukkan akan pensyariatan maulid Nabi, ia hanya menunjukkan atas dua hal:

  1. hanya menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut saja, tidak yang lainnya.
  2. bentuk ibadah yang disyariatkan hanya yang disebutkan saja seperti puasa, zikir dan shalat. Perayaan maulid tidak terdapat di dalamnya.

Kita meminta mereka membuktikan (dengan dalil) dua perkara, dan mereka tidak akan dapat membuktikannya sampai hari kiamat:

  1. Pengkhususan perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan tidak hari-hari yang lain.
  2. Pensyariatan melangsungkan perayaan maulid nabi dengan cara khusus yang mereka lakukan.

Ibadah tidak boleh dibangun di atas hukum Qias dan pandangan yang kosong dari dalil; seperti ucapan mereka bahwa perayaan ini masuk pada jenis menampakkan rasa syukur atau menampakkan kebahagiaan yang wajib. Atau dari jenis pengagungan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyariatkan.

Sehingga ia merupakan istihsan (anggapan baik) dan qiyas (penyerupaan kasus) yang menyelisihi dalil dan usul syariat. Karena ibadah adalah tauqifiah (baku), penetapan dan beribadah dengannya haruslah setelah adanya ketetapan dalil syariat khusus yang pasti.

Dengan demikian jelaslah bahwa pemimpin-pemimpin mereka mengabaikan akal dan pemahaman manusia, mengelabui mereka dengan nama cinta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima: Jika kita tanya kepada mereka: Adakah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merayakan hari kelahirannya atau salah seorang dari khalifahnya (para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya Nabi) atau para sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin atau imam mazhab yang empat atau salah seorang dari tiga generasi pertama? carilah jawabannya!!

Yang benar, yang tidak ada keraguan di dalamnya adalah bahwa perayaan maulid tidak dikenal di awal keislaman, tidak pula pada masa tiga generasi utama. Perayaan itu dimunculkan oleh sekte Fatimiyah Batiniyah yang Zindik (yang berkuasa) pada akhir kurun keempat di Mesir, kemudian diikuti oleh toriqoh-toriqoh sufi. Karenanya kita katakan kepada mereka:

  1. Apakah kalian merasa lebih mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding para sahabat nabi (di zamannya) atau kalian ragu akan kecintaan mereka.
  2. Apakah jalan dan amalan kalian lebih baik dari jalan dan amalan para sahabat Nabi. Jika itu luput dari manusia-manusia utama itu dan kalian yang menemukannya, tentu tidak ada kebaikan pada amalan yang luput dari mereka. Jika mereka mengetahuinya tetapi meninggalkannya, maka tidak ada kebaikan pada apa-apa yang ditinggalkan salafussoleh, karena mereka adalah umat yang terbaik, paling utama jalannya dan paling suci amalannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa maulid nabi adalah amalan susupan yang tidak ada nasabnya dari Islam, bahkan ia menyerupai upacara umat agama yang menyelisihi Islam seperti Yahudi dan Nasrani terhadap pembesar-pembesar mereka. Sama sekali tidak terdapat di dalam syariat Islam. Pelaksanaan perayaan kelahiran seseorang atau kematiannya adalah istiadat yang menyusup, bukan dari kaum muslimin.

Keenam: jika kita tanya mereka tentang acara maulid nabi dan apa yang dilakukan ketika itu, mereka akan mengatakan hanya sekadar zikir, memuji nabi, membaca sirohnya (riwayat perjalanan hidupnya) dan amal-amal mustahabah (disukai) yang lain.

Tetapi pada prakteknya di setiap perayaan maulid nabi tidak luput dari penyimpangan, bid’ah dan praktek kesyirikan. Setiap perayaan perbedaannya hanya pada kadar penyimpangannya, sedikit atau lebih banyak.

Di antaranya:

  1. Zikir berjamaah (bersama) dengan hai’ah (gerakan) yang tidak disyariatkan.
  2. Berlebihan dalam memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau telah melarang hal itu.
  3. Mengangkat Nabi melebihi kedudukannya dan menyifatinya dengan sifat ketuhanan, seperti pengetahuannya mengenai perkara gaib dan kesertaan dalam pengaturan alam.
  4. Melakukan ibadah dan wasilah-wasilah syirik seperti istighasah kepada Nabi dan para wali. Meminta kepada mereka dikabulkan hajat-hajatnya dan diberi kebaikan.
  5. Melakukan perbuatan sia-sia dan tarian.
  6. Mendengarkan ma’azif musiki (permainan musik) dan sibuk dengan permainan.
  7. Ikhtilat (campur baurnya lelaki dan perempuan) dan hadirnya remaja-remaja belia berparas menarik.
  8. Klaim dan prasangka hadirnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada acara perayaan maulid.
  9. Hadirin di acara itu mengalami isyk (tergila-gila), suka cita, fana dan keadaan kesetanan lainnya.

Maksudnya adalah bahwa semua amalan yang dibangun di atas kebatilan adalah batil dan jalan menuju setan, menjauhkan dari Tuhan, ar-Rahman dan menyuburkan setiap bid’ah dan maksiat. -Allahu musta’an (Allah Maha penolong).

Ketujuh: kita tanya mereka: apakah makna bid’ah dan apa hakikat perbuatan bid’ah? Dan dapatkah menafsirkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka perbuatan itu tertolak.” [Mutafak Alaih]

Mereka pastinya akan menjawab dengan jawaban yang mencampurkan antara kebenaran dengan kebatilan, menipu, menyimpangkan nas-nas dan merubah makna.

Mereka akan mengatakan bahwa bid’ah ada dua, bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyiah (bid’ah yang buruk)…dan seterusnya.

Makna berbuat bid’ah adalah: Mengadakan/menciptakan cara atau amal atau ibadah yang dijadikan wasilah mendekatkan diri kepada Allah dalam agama yang tidak memiliki asal dari syariat.

Setiap yang beribadah kepada Allah dengan amalan atau ibadah yang syariat tidak menunjukkannya, tidak bersandar kepada dalil atau ijma (konsensus) maka telah berbuat bid’ah dalam agama, pelakunya berdosa dan amalannya tertolak, tidak diterima sama sekali. Berarti telah menyakiti rasul dan mengikuti jalan selain orang beriman. Dalam agama tidak ada bid’ah hasanah.

Tidak diragukan lagi bahwa maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlaku atasnya sifat bid’ah karena adanya dua illah (cacat):

  1. Dia adalah amalan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
  2. Tidak ada asalnya dari syariat.

Kita katakan kepada mereka bahwa dengan kalian menciptakan acara maulid nabi, secara tidak langsung menunjukkan perasaan kalian bahwa agama ini kurang, butuh dilengkapi dan disempurnakan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” [al-Maidah/5:3]

Amalan tersebut juga membuka pintu kerusakan yang besar dimana semua momen yang dianggap baik dibuatkan perayaannya. Tentu ini mempermainkan agama Allah, sebagaimana yang telah dilakukan kaum syi’ah dan selain mereka.

Kedelapan: Ketika kami tanyakan kepada kebanyakan orang-orang awam yang melaksanakan dan turut serta dalam perayaan maulid, apa yang menjadi sandaran kalian dalam melakukan perayaan ini, mereka menjawab: “Bagi kami mengikuti perbuatan syaikh/kiyai dan para wali. Kami meneladani mereka.”

Kita katakan kepada mereka: perbuatan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan), sekalipun mereka itu syaikh/kiayi jika perbuatannya menyelisihi syariat. Yang menjadi hujjah adalah al-Quran, sunah dan apa-apa yang telah disepakati oleh salaful ummah (generasi awal umat ini). Tidak ada seorang manusiapun yang selamat dari kesalahan. Bagaimana kemudian mengikuti mereka yang tidak diketahui kekuatan ilmu dan keteladanannya kepada manhaj salafussoleh (metode generasi awal). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” [al-An’am/6:116]

Bagaimana kalian mendahulukan ketaatan kepada para syaikh/kiayi dari pada kepada Allah dan rasul-Nya serta para imam seperti: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad dan ulama lain yang dikenal keilmuan, amal, zuhud, dan ibadahnya. Sedangkan toriqot-toriqot sufi yang baru itu telah menyakiti Islam dengan tampilan menariknya.

Aku tanya kalian: Apakah dalam Islam, agama yang agung ini terdapat dansa dan kesia-siaan di dalamnya.

Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berdansa, menari dan bernyanyi sebagaimana dilakukan oleh para tukang kelakar dan kefasikan.

Sudah datang waktunya bagi kalian wahai awam muslimin untuk membebaskan akal kalian dari kurafat-kurafat dan senda-gurau yang diwajibkan kepada kalian oleh mereka yang mengklaim mencintai dan membela nabi.

Telah datang waktunya bagi kalian untuk membebaskan diri dari tali belenggu syaikh/kiai toriqot sufiah dan menjadi orang merdeka dalam menyembah/beribadah kepada Allah sesuai petunjuk.

Telah usai zaman kejumudan dan takhaluful fikri (irasional) yang menimpa dunia Islam dalam pertengahan sejarahnya, dimana sunah dan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melemah sehingga menyebar kebodohan, bid’ah dan khurafat. Kini tiba –Alhamdulillah– zaman ittiba (meneladani Nabi) dan hujjah (bukti/dalil), mencari kebenaran, menyebarnya sunah dan ketaatan.

Pada akhirnya, wahai mereka yang mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berupaya untuk menempuh jalan itu, aku iba kepadamu dan mengingatkanmu; jangan sampai datang pada hari kiamat dan tiba di telaga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk minum tetapi engkau diusir dari telaga itu, dan beliau justru menuntutmu atas perubahan dan pergantian yang engkau lakukan dalam agamamu.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَرِدَنَّ عَلَىَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِى ، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ

“Sungguh didatangkan kepadaku kaum yang aku ketahui dan mereka mengetahuiku, kemudian diberi pembatas antara aku dengan mereka.”

Abu Hazim berkata, ” An-Nu’man bin Abi ‘Iyasy mendengar hadits yang aku riwayatkan dan dia bertanya:

“Demikiankah yang dikatakan oleh Sahl?!”

“Ya.” Jawab Abu Hazim.

Abu Hazim berkata, “Aku bersumpah mendengar Abu Sa’id al-Khudri menambahkan riwayat hadits itu: Nabi berkata,

فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّى

“Dan aku katakan (kepada malaikat), ‘Mereka adalah ummatku!’.”

Malaikat menjawab:

“Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang mereka buat setelah kematianmu.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى

“Maka akupun mengatakan: jauh-jauh bagi siapa yang merubah ajaranku setelah (kematian)ku.”

Wallahu A’lam.

[Disalin dari حوار مع أنصار المولد النبوي  Penulis : Syaikh Khalid bin Su’ud al-Bulaihid  Penerjemah Syafar Abu Difa  Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/89022-dialog-dengan-pembela-maulid-nabi.html